KH Hasyim Muzadi: Dulu Gus Dur Tak Campuraduk NU-PKB

Dokumen foto: Kompas.com
Kompas.com
Iklan Bawaslu Tuban

Tubanliterasi.or.id – Pada Muktamar ke-33 di Alun-alun Jombang Jawa Timur pada tahun 2015, Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pernah menyampaikan bahwa kecenderungan negatif yang kini menimpa Nahdlatul Ulama (NU) . Yaitu makin kuatnya indikasi parpolisasi NU, terutama oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kiai Hasyim menyampaikan bahwa, indikasi intervensi PKB sangat kuat. Bahkan sampai menjalar pada konferwil dan konfercab di berbagai daerah. ”Ini kan bisa dianggap sebagai parpolisasi pada NU,” kata Kiai Hasyim Muzadi saat itu.

Menurut kiai, kalau kecenderungan PKB intervensi pada NU ini terus terjadi, maka ruh NU akan hilang. ”Karena kekuasaan ulama diganti oleh anak-anak politik yang ngatur NU karena merasa punya uang. Akibatnya ruh NU hilang. Inilah yang dulu juga terjadi saat NU dan PPP jadi satu.”

Bacaan Lainnya

Jika kita analisa, mungkin stetmen Kiai Hasyim memang benar. Karena setiap momen Pemilu, warga NU tidak mampu bersikap secara bijak. Dalam hal ini adalah NU yang bernaung dalam struktur, bukan kultur. Setiap kali konstalasi politik terjadi, NU hanya dijadikan pendulang suara calon politisi yang mencalonkan diri sebagai pemimpin. Namun tidak mampu menjaga marwah NU dan membedakan kepentingan. Sehingga NU mendapat pandangan sinis oleh masyarakat umum. Kenapa NU harus dijadikan alat politik?

NU Memiliki Patronase Positif

Saat pemilu, setiap kali yang diributkan adalah sikap NU. NU mau ikut calon nomor berapa? Tak pernah bicara bagaimana memajukan NU dan lembaga-lembaga NU lainnya. Jika orang yang bernaung dalam struktur NU tidak mampu membedakan peran dan fungsi NU, maka rawan terhadap perpecahan masyarakat. Karena selama ini, NU dianggap sebagai organisasi yang memiliki patronase positif oleh umat muslim secara umum. Bukan pada sikap politik praktisnya.

Jika NU tidak memiliki sains politik yang baik, maka NU maupun generasinya sama tak maju-maju. NU tak maju, bahkan mandul. Sekarang (PKB) juga sama. Banom yang dipimpin orang partai tak maju. Karena pimpinannya politisi yang tak punya kharisma dan mengakar di bawah, Ini akan mengulang sejarah tahun 1979 – 1984 ketika NU jadi satu dengan parpol.

Karena itu ketika pada tahun 1998 PBNU membidani lahirnya PKB, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama Kiai Hasyim Muzadi membangun platform agar NU dan PKB tak saling tumpang tindih. Sehingga saat itu Kiai Hasyim menyampaikan ”PKB itu kan dideklarasikan di Ciganjur pada 23 Juli 1998. Saya termasuk pendiri bersama Gus Dur,” kata Kiai Hasyim. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini kemudian bercerita bahwa saat itu Gus Dur dan dirinya ada kesepakatan tak tertulis.

”Kata Gus Dur: Pak Hasyim (sampean) yang ngatur NU, saya akan mimpin PKB. NU mengatur civil society (kejam’iyahan yang bertata nilai atau akhlak sosial). Sedangkan partai (PKB) bergerak di bidang kekuasaan praktis yang banyak liku-likunya. Keduanya jangan dicampuraduk secara struktural kepengurusan, tapi hubungan aspiratif strategis,” ungkap Kiai Hasyim Muzadi mengungkap kembali pesan Gus Dur saat itu.

Dengan strategi yang dibanguan oleh Gus Dur, Kiai Hasyim mengiakan: baik Gus, saya akan mimpin NU dan saya jangan dimasukkan pengurus PKB, dan insyaallah saya tak minta jabatan melalui PKB,” tutur Kiai Hasyim Muzadi.

Gus Dur pun langsung menimpali. “Baik, saya pun tidak akan mencampuraduk kepengurusan PKB-NU,” kata Gus Dur. Kiai Hasyim dan Gus Dur lantas berjabat tangan sebagai tanda sepakat.

Namun di era politik yang semakin rumit, justru NU terseret dalam arus politik yang tidak dewasa dan saling intrik sesama warga NU. Jika hal demikian terus terjadi, warga nahliyih harus berpatron pada siapa. Jik kiai dan ulamak NU tidak mampu membedakan kepentingan NU maupun partai. Menurut Kiai Hasyim, platform dan hubungan strategis dan komitmen tak saling intervensi antara NU dan PKB yang diatur Gus Dur itu sangat ideal.

Tapi sayang, dalam perjalannya Gus Dur dijatuhkan dan disingkirkan dari arena politik yang brengsek dan tidak berberi kemanusiaan. Sehingga di akhir hayat Gus Dur, warga NU yang bernaung di bahwa partai, terutama PKB. Hari ini compang-camping dan tidak memiliki marwah sama sekali. Karena ikut serta terselimuti oleh kekuasaan yang membabibuta.

Akibatnya, platform yang sudah ditata cucu pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari berantakan. Bahkan PKB cenderung intervensi dan mengatur NU. Bahkan menurut penilaian Kiai Hayim saat itu, jika kecenderungan parpolisasi ini terus terjadi, maka akan terjadi perubahan tata nilai besar-besaran dalam NU. “Akhlak NU akan berubah menjadi perangai parpol, dan ini sangat berbahaya.”

Perjuangan NU Bukan Politik Pragmatis

Selain itu, kata Kiai Hasyim, perjuangan NU jadi pragmatis, tidak idealis dunia-akhirat. “Bahkan kalau ada personel PKB yang korup maka NU akan kena getah dan NU akan dijadikan alat pelindung. Karena itu, kata Kiai Hasyim, ”NU harus dikembalikan ke-khitah 26.”

Sejak awal NU berdiri adalah sebagai penyeimbang negara untuk merangkai persatuan negara dan agama. NU bukan sebagai alat politik, bukan kapal perang politisi yang ingin mengambil untung didalamnya. Statetmen ini bukan berlebihan, alangkah baiknya jika NU tetap menjadi organisasi sivil society. Organisasi yang tetap mempunyai marwah dan mampu menjadi penjembatan kepentingan antara negara dan masyarakat. Apakah ada organisasi muslim besar, selain NU yang mampu menjadi garda terdepan membela agama dan bangsa? Mungkin tidak ada, bahkan organisasi level nasional pun. Satu kata, hanya NU.

Dalam konteks ini, analisis warga NU harus lebih kritis dalam menentukan sikap politik. Bukan hanya sendiko dawuh, manut pada pemodal besar, konglomerat politik. Karena jika hanya manut, NU akan mendapatkan penilaian negatif. Selain itu, sebagai organisasi besar akan mudah hanyut oleh perubahan.

Tantangan kedepan akan lebih sulit. NU harus tetap menjadi faktor pendorong kemajuan bangsa. Kata kuncinya terletak pada bagaimana kita sebagai warga NU, mempersiapkan diri dan menjalankan strategi-strategi tepat yang sudah dirancang oleh Kiai Hasyim dan Gus Dur. Selain itu, memiliki sikap rasa tanggungjawab (sense of responsibility) terhadap NU.

Lebih jauh menurut saya, NU harus tetap membumikan Islam dengan segala kemanusiaanya yang ramah, toleransi, menghormati kearifan budaya, adat istiadat dan ajaran moral yang sudah dari dulu tertanam dengan baik. Organisasi NU untuk menciptakan perdamaian, solidaritas dan harmoni masyarakat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NU adalah organisasi yang mengemban amanah mulia dalam menghadapi penindasan pada era feodalisme dan kolonialisme. Sekali lagi, NU bukan kepanjangan tangan dari politisi. (*)

Pos terkait