Oleh : Zidni Ilman Nafia
Kala pagi itu dalam suasana tenang dengan berteman kicauan burung dan tumbuhan yang merekah dan bunga mulai bermekaran, meski hati terasa pedih karena berbagai macam anugrah dan kejadian yang diberikan oleh yang maha kuasa. Waktu itu, duduk di teras rumah dan termenung dalam diam dengan memandang kehampaan. Tiba-tiba Bapak menyapa dengan membawa secangkir kopi.
“Nak, lagi ngapain kamu di depan sendiri? Ini tak bawakan kopi buatan Ibuk”
“eh Bapak, ndak papa pak. Ini cuma liat tumbuhan ijo-ijo depan rumah”
“Bener? Ini kopinya monggo diminum aja”
“Nggeh pak, terimakasih” Sambil meminum kopi
Ketika meminum kopi tersebut aku langsung menyemburkannya dan lau mengelap lidahku dengan cepat.
“Kopinya kok pahit banget pak ini?” Tanyaku sambil meletakkan cangkir kopi.
“Loo itu kopinya emang gak ada gulanya nak”
“Walah pantesan pahit pak”
“Ya begitulah kehidupan nak” Sambil meminum kopi dan menyalakan rokoknya.
“Maksudnya pak?
“Hidup itu memang kebanyakan tentang kepahitan nak, meskipun terkadang banyak pula datang kemanisan atau kebahagiaan”.
“Ya memang pak, hidup memang terkadang di atas dan kadang di bawah. Tapi maksud Bapak sesungguhnya apa?” dengan penasaran aku memandangi wajah bapak.
“Kepahitan datang, namun setelah kepahitan akan datang kesembuhan. Banyak obat untuk menyembuhkan dan rasanyapun pahit, berbeda dengan obat anak yang ada ya hanya manis dan manis. Beda dosis beda pula obatnya nak.”
“Oh gitu ya pak”
“Kamu ini sudah dewasa, sudah saatnya dosis yang diberikan berbeda pula. Kamu harus tau dosisnya dan rasa kepahitan yang diberikanNya kepada kamu” Sambil menghisap rokok.
“Tapi bukannya kebahagiaan itu lebih sering datang kalau kita banyak teman pak?”
“Kebahagiaan itu tidak bisa dirasakan, ketika kamu berusaha mendatangkan kebahagiaan, kamu ndak akan bisa merasakan kebahagiaan itu sampai kamu lupa kamu yang harusnya bahagia”
“Oh iyaa, benar juga pak” sambil sedikit meminum secangkir kopi.
“Seperti kopi ini, memang pahit. Tapi dia bisa menyembuhkan dan dapat menghindarkan dari penyakit” Sambil mematikan rokoknya.
Setelah itu bapak langsung berdiri, ketika aku akan ngomong lagi.
“Tapi pak…”
“Banyak topa tapi kamu ini” Sambil ngeloyong ke dalam rumah.
“Tapi kopinya belum habis pak ini” Sambil menyodorkan cangkir kopi.
“Wes kamu abisin ae kopinya biar jadi laki-laki sejati”