Tubanliterasi.or.id – Sampai hari ini politik uang bukan lagi rahasia umum. Namun terkesan biasa dan bukan perkara memalukan. Karena kedewasaan politik tidak terbentuk dari kondisi lokalitas masyarakat. Melainkan lebih kepada meperebutakan kekuasaan dengan cara keji. Mengotori demokrasi, jual beli harga diri dan obral janji. Sehingga yang muncul hanya gimic politik dan janji semu. Fakta itu muncul diikuti dengan pengkultusan pemimpin yang dianggap kuat (strong-man leadership). Bukan soal kecerdasan dalam memimpin pemerintahan. Selain itu, kesadaran poltik masyarakat tak kunjung membaik. Bahkan makin kesini makin parah.
Jika hal ini terus terjadi, pemimpin yang terpilih tidak akan isin-isin cari kembalian modal politik. Mereka merasa bahwa, politik hanya barang dagangan yang bebas diperjual belikan. Yang penting, pemimpin dapat apa-apa duluan. Secara tidak langsung mengesampingkan nilai-nilai kedaulatan rakyat.
Hari ini sudah waktunya masyarakat lebih cerdas dalam memilih pemimpin, karena sementara ini, pemimpin masih belum sesuai harapan. Namun fakta menunjukan, kerja-kerja profesional seorang pemimpin bukan ukuran. Lebih tepatnya, menjadi pemimpin hanya soal napsu kekuasaan. Jadi, sesimpel itu budaya politik di negara kita. Lalu apa yang mau dibanggakan? Jika kualitas pemimpin bukan nomor satu, otomatis hanya pertarungan politik oligarki. Yaitu sistem politik yang diatur oleh segelintir orang.
Cukup jelas sudah, kebijakan yang dirumuskan pasti asal-asalan, dan hanya bersifat seremonial. Soal menyentuh visi-misi atau bukan, tidak menjadi ukuran. Inilah realitas yang harus kita terima. Walaupun masyarakat bersikeras mengkritik dan menolak kebijakan yang telah dibuat. Namun tidak pernah mendapat respon yang baik. Justru masyarakat mendapatkan kritik balik.
Jika pemimpin anti kritik, ini menunjukan sistem politik Orba belum seutuhnya hangus dari bumi Indonesia. Sistem politik sentralistik, otoriter dan feodalisme masih tumbuh subur. Cukup miris memang, meskipun Soeharto sudah tumbang. Namun tradisi politik otoritarianisme masih mengakar. Dengan demikian, masyarakat selalu diposisi paling bawah. Padahal, dalam sistem demokrasi, kedaulatan negara diatas tangan rakyat. Bukan sebaliknya.
Pergantiam pemimpin hanya soal transisi kepentingan, bukan lagi membangun demokrasi yang baik. Peran pemimpin hanya sebuah simbol keangkuhan kelompok tertentu. Selain itu karakter yang muncul tidak mampu menghasilkan produk kebijakan yang baik. Pemimpin seolah tidak mengingat bahwa, kepentingan masyarakat adalah prioritas. (*)