Sudah Cukup Terasa Atmosfer Pemilu 2024

Sudah Cukup Terasa Atmosfer Pemilu 2024
Iklan Bawaslu Tuban

Tubanliterasi.or.id – Layaknya dunia peperangan untuk menaklukkan suatu kekuasaan. Mengharuskan banyak pembodohan, rekayasa, pembantaian karakter, dan pelempuhan citra. Kontestasi politik tak ubahnya medan peperangan ego gelap pribadi bukan atas nama rakyat dan segala kepentingan kesejahteraan. Mal-mal suram tempat konsolidasi berdiri di setiap ruang kopi hingga bahu jalanan pedesaan. Menyuguhkan taruhan serta tawar menawar kepentingan. Lantas apa yang di perjuangkan jika demokrasi tanpa mampu berdiri tegak atas nama kemakmuran? Terus bagaimana suara demokrasi yang di ambil dari rakyat bisa bermakna, jika ruang kontestasi saja sudah syarat jual beli kepentigan.

Mengutip pendapat Robert Dahl “bahwa demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat lokal” (Fitriyah 2005: 297). Menyambut Pemilu 2024 yang akan datang, sudah cukup terasa atmosfer simbol opini publik. Baik melalui ruang media sosial hingga ruang rasan-rasan masyarakat awam. Publik menjadi lapangan bola luas. Tempat bergulirnya pencitraan dan permainan opini dimainkan. Bola liar menjadi incaran dari setiap kaki para binatang penjilat.

Bacaan Lainnya

Peperangan politik sudah lama terjadi dengan tendensi demokrasi. Namun tak sejalan dengan representasi dan subtansi. Kibul mengibuli sudah hal lazim terjadi. Suara rakyat hanya santapan liar untuk unjuk gigi menancapkan taring kepentingan lebih dalam. Desas-desus petahana menyalonkan putra mahkota sudah menjadi rahasia umum. Entah sebagai branding kelanggengan kekuasaan ataukah mencetak generasi emas dalam clan golongan. Semua mata yang menyoroti memiliki opini yang bergulir deras. Sampai dimana ujungnya belum bisa terteka.

Kader terbaik parpol diuntungkan dengan dukungan beberapa jaringan dan mesin politiknya yang cukup solid, kandidat mempunyai image position sebagai pejabat yang popular di mata publik. Apalagi jika proses tersebut ditopang dengan kinerja figur yang positif tentunya akan semakin memperkuat korelasi antara pemilihan dan calon kandidat dalam hal memperoleh kemenangan (Firmanzah 2010: 229). Tetapi jika petahana tidak bertarung sendiri hanya memainkan pion catur apakah kader terbaik parpol diuntungkan dengan itu. Sedangkan pion tak memiliki image position dan kinerja teruji kapabilitasnya.

Opini publik cenderung kritis dalam berbagai kondisi dan sudut pandang. Hal itu syarat penjabaran kondisi di lingkungan sekitar. Dari masa ke masa kepemimpinan masih belum terasa menjawab segala problematika masyarakat, justru menampilkan problem baru yang menambah beban masyarakat.

Identitas pemimpin di pemilu 2024 di golongan dari kaca mata masyarakat awam adalah representasi kepemimpinan korporasi. Yang artinya pemimpin mendatang masih pada tataran politik oligarki. Jika kepimpinan mendapat pandangan bagus itu sekaligus mewakili penilaian terhadap kelompok minoritas, buka mayoritas. Tidak menutupi kepempinan jika timbul kekecewaan atau ketidakpuasaan terhadap kepemimpinan.

Rekomendasi atar parpol hari ini masih mengambang menjadi bahan opini publik yang entah disengaja disiapkan “black box campions” atau bisa juga bentuk kedelemaan pimpinan partai atas kebuntuan konsolidasi koalisi yang ada, tentang figur yang mendapat dukungan penuh. Kenapa harus penuh? Dititik ini perlu pemahaman lebih jika selama ini respon terhadap kader masih tawar menawar komposisi komplit dari rekonstruksi politik yang akan dibawa selama masa jabatan nanti.

Mengenai bursa figur didalam ruang “lingkaran benang kusut” masih tarik ulur opini serta syarat sekali dengan keambiguan informasi yang selama ini dipaparkan dalam publik. Entah figur yang diusung masih belum bisa memenuhi kebutuhan partai atau tendensi rekomendasi sesepuh para empu belum juga turun. Kemungkinan itu membuat publik bertanya, peranan para sesepuh empu di dalam tubuh parpol sejauh mana menimbang, menyaring, serta mengkader figur yang pas diajukan dalam kontestasi pemilu 2024 nantinya. (*)

Pos terkait