Banter-banteran Sound Dan Goyang Pargoy: Bagaimana Sikap Kita?

Banter-banteran Sound Dan Goyang Pargoy: Bagaimana Sikap Kita?
Iklan Bawaslu Tuban

Tubanliterasi.or.id – Lagi viral video polisi dan aparat keamanan berupaya membubarkan kegiatan banter-banteran sound di Wadas Kediri. Dalam video itu bahkan polisi melakukan orasi untuk mendebat apa korelasi tindakan banter-banteran sound dengan music dugem atau ala diskotik yang dibunyikan oleh para peserta pawai banter-banteran sound.

“Kita memeriahkan hari kemerdekaan, bukan hari hancur-hancuran!… Ini bukan budaya bangsa!”, teriak pak Polisi. Mungkin yang dimaksud pak Polisi adalah dampak yang diakibatkan dari banter-banteran sound itu yang juga ada video viralnya. Dalam sebuah video lain di medsos, ada beberapa postingan yang menunjukkan bagaimana genteng rumah rontok akibat tindakan banter-banteran sound.

Anehnya, saat Pak Polisi mempertanyakan korelasi banter-banteran sound dengan kemerdekaan, tampaknya malah keberatan dengan keinginan pak Polisi. Angel wes. Angel! Tampaknya memang tak sedikit manusia yang kadung kecanduan budaya banter-banteran sound.” Hingga diingatkanpun mereka tampaknya malah merasa “kemerdekaan”-nya terganggu.

Memang, sepanjang tidak ada aturan yang melarang, apa bisa sesuatu dilarang dan ketika terjadi dibubarkan? Termasuk melarang lomba banter-banter sound itu. Keberadaan pawai b anter-banteran sound itu terjadi ya karena memang ada penyukanya. Entah apa alasan mereka kok bisa menganggap banter-banteran sound sebagai sesuatu hal yang estetik dan membanggakan. Kita tentu tidak tahu. Wong memang kadang orang menyukai sesuatu itu tidak ada alasannya.

Tapi mungkin kalau mencoba menyelami siapa yang paling suka dan punya kegilaan terhadap banter-banteran itu, bisa jadi adalah pemilik sound atau orang yang ngragati sound. Seperti pernah ada komentar di medsos ketika ada postingan yang mengarah pada ketidaksukaan pada banter-banter sound yang komentarnya begini: “wong sound diragati dewe, ora nggawe duitmu kok mbok larang-larang!”

Nah begini repotnya. Sesuatu yang terkait hak asasi memang tidak bisa dilawan dengan cara frontal, apalagi caranya melawan adalah melanggar hak asasi itu sendiri. Misal kamu tak suka ada sound yang diputar keras-keras, lalu kamu marah dan soundnya kamu rusak, justru kamulah yang akan dihukum karena kamu merusak barang milik orang lain. Pak Polisi di Wadas Kediri yang videonya viral itu sendiri bisanya juga hanya bisa mendatangi dan mempersuasi. Pak Polisi mengambil Mikropon dan menyampaikan pesan agar banter-banteran sound dihentikan. Dan pak Polisi juga mempersuasi tentang buruknya banter-banteran sound dengan dampaknya dan tidak adanya korelasi dengan budaya bangsa.

Ya, sekali lagi, ada segmen dan kalangan masyarakat, terutama anak-anak muda, yang memang menjadi penggila dan penyuka banter-banteran sound dan ada segmen yang paling gampang dicari adalah pembuat dan pemilik sound systemnya. Kalau penikmat dan pendengar atau penonton itu sebenarnya ya gak bisa milih. Apapun yang lewat dan ada, sebenarnya ya akan dilihat, didengar, ditonton dan dinikmati.

Dalam sebuah karnaval atau pawai, misalnya. Ya posisi penonton yang jumlahnya lebih banyak daripada penampil atau peserta karvaval sebenarnya bisanya hanya melihat, menunggu apa yang tampil lewat dalam pawai. Ketika yang lewat sound system dengan Goyang Pargoy di mana bagian tubuh ibu-ibu muda dan sebagian janda itu “centul-centul” dan megal-megol mengikuti music yang diperdengarkan dengan sound menggelegar, ya penonton tetap tak menolak.

Sebagian penonton yang kritis dan agak bisa mikir dan berani mengungkapkan pendapatnya mungkin akan menyampaikan pendapatnya di medsos. Ternyata kalau kita lihat cukup banyak juga postingan-postingan yang menunjukkan bagaimana masyarakat juga ada yang menyayangkan karnaval yang hanya berisi Goyang Pargoy diiringi banter-banteran sound. Mereka adalah penonton yang bisa mikir dan berharap agar konsep karnaval lebih baik lagi dan bukan hanya didominasi banter-banteran sound.

Kembali ke pertanyaan awal saya: Apa bisa “banter-banteran sound” ditiadakan dari ruang-ruang kebudayaan kita termasuk lomba karnaval dan pawai?

Jawabannya adalah tergantung pada:

  1. Apakah memang hal itu bisa dilarang? Apakah sudah ada peraturan yang melarang? Dan dalam hal mana hal itu bisa dilarang?
  2. Apakah para pemimpin baik di tingkat kecamatan maupun desa serta tokoh-tokoh di berbagai level sudah memikirkan bagaimana kegiatan Peringatan Kemerdekaan yang lebih memiliki sisi pembangunan Karakter?

Intinya karena selera, minat, tingkahlaku, pilihan penampilan budaya merupakan ranah Kesadaran masyarakat dan kesadaran individu-individu yang merupakan menjadi bagian dari karakter masyarakat juga. Sehingga yang harus banyak dilakukan adalah penyadaran. Penyadaran bisa dilakukan secara massif, terstruktur, dan sistematis.

Kegiatan berupa pembinaan pada masyarakat tentang pembangunan karakter budaya, pembuatan peraturan, dan melakukan persuasi bagi segmen-segmen kunci dari budaya banter-banteran sound harus dilakukan. Para aparat keamanan seperti Pak Polisi ternyata tidak dengan mudah menghentikan kegiatan banter-banteran sound dan terkesan dientahi ketika melakukan persuasi pada saat terjadi kegiatan banter-banteran sound yang diikuti para penyuka dan penggilanya—termasuk pemilik dan penyewa sound.

Maka, sasaran yang terpenting untuk disadarkan adalah para tokoh-tokoh kunci daripada budaya banter-banteran sound. Penyadaran massif juga harus dilakukan pada masyarakat. Selanjutnya dibuka juga ruang-ruang ekspresi dan kreativitas bagi generasi muda terhadap kekayaan seni-budaya. Harus diperkenalkan jenis kesenian lain selain kesenian yang berbasis pada music dan lagu. Karena kegiatan banter-banteran sound sebenarnya bagian dari kesenian music. Dan juga dominasi jenis music, yaitu koplo, dan music dugem.

Perlu memperkenalkan jenis musik pada anak-anak muda, misalnya jazz, keroncong dan music tradisional. Perlu memperkenalkan jenis kesenian yang bervariasi pada anak anak dan remaja, misalnya sastra (puisi, monolog, drama/teater). Perlu sanggar-sanggar di desa-desa yang bisa memberikan ruang-ruang perkenalan pada berbagai macam jenis kesenian. Dan pelatihan-pelatihan kesenian harus difasilitasi oleh pemerintah yang punya anggaran, misalnya menggunakan Dana Desa untuk Sanggar Kesenian, Taman Bacaan dan Perpustakaan yang benar-benar bisa dikelola dengan baik dan bisa membuat kegiatan yang meningkatkan budaya baca di masyarakat.

Dari pemahaman ini, kita harus menyadari bahwa dinamika seni-budaya di ruang-ruang publik tak berdiri sendiri. Untuk menciptakan budaya yang berkarakter, memang tak bisa membiarkan terjadinya liberalisme budaya. Harus ada kepemimpinan yang mengarahkan gerak budaya di masyarakat. Para tokoh dan pimpinan publik harus banyak mendiskusikan bagaimana membangun kepribadian bangsa lewat pembangunan budaya.

Kegiatan PHBN bisa jadi ruang yang penting untuk banyak didiskusikan dan dikonsep tahun depan. Para camat dan forum pimpinan kecamatan, juga forum pimpinan Desa, harus sering berdiskusi tentang bagaimana mengonsep kegiatan Agustusan tiap tahun yang bisa membangun karakter kebudayaan yang berkepribadian. Belajar dari dominasi banter-banteran sound di Agustusan belakangan ini, mungkin tahun depan persiapan PHBN bisa dimulai dengan sarasehan kebudayaan di tingkat kabuapaten, kecamatan, dan bisa menyasar pada tokoh-tokoh di desa. (*)

Salam Budaya!

Pos terkait